Breaking

Kamis, 16 April 2020

Flu Spanyol, Ibunya Virus ?

Serangan virus Flu Spanyol sangat dahsyat, saking dahsyatnya menurut para ahli asal Amerika Serikat Jeffery Taubenberger menyebut Flu Spanyol sebagai "The Mother of All Pandemics".
Ilmuwan epidemiologis menyimpulkan, Flu Spanyol merupakan penyakit menular paling mematikan di dunia, jauh lebih berbahaya dari cacar, pes, dan kolera. Satu miliar orang (60 persen dari total populasi dunia) diperkirakan terkontaminasi virus tersebut.
Montana State Normal School/rockdoctor62
Jumlah korban tewas diperkirakan mencapai 21 juta jiwa (John Barry) hingga 50-100 juta jiwa (Nial Johnson dan Juergen Mueller), di mana kematian terbesar terjadi pada balita, orang berumur 20-40 tahun, dan orang berumur 70-74 tahun. Itu berarti, dalam kurun waktu Maret 1918-September 1919, Flu Spanyol merenggut sekitar dua persen populasi dunia yang saat itu berkisar 1,7 miliar orang. Angka tersebut jauh melebihi jumlah korban PD I yang berkisar 9,2 juta-15,9 juta jiwa.

Sementara itu, seorang ahli ilmu lingkungan dari Universitas Montana mengenang foto lawas di sekolah NORMAL (UMW), Rob Thomas pemilik akun instagram @rockdoctor62 menulis Flu Spanyol mewabah antara periode tahun 1918-1919. Virus itu terbagi jadi 2 gelombang.

"Pada hari ini saya mengenang foto sekolah pertama (UMW) ini diambil pada musim panas 1919. Pada tahun 1918, gelombang pertama pandemi flu menyerang pada musim semi dan umumnya ringan." tulisnya.

Pada gelombang pertama flu ini menyerang seperti flu biasa saja, namun pada gelombang kedua flu itu berevolusi.

"Gelombang kedua terjadi pada musim gugur tahun yang sama, tetapi virusnya telah berevolusi. Korban meninggal dalam beberapa jam atau beberapa hari karena gejala yang berkembang, kulit mereka membiru dan paru-paru mereka penuh dengan cairan, menyebabkan mereka mati lemas." tulis Rob Thomas.

Orang yang terinfeksi virus ini memiliki beberapa fase. Menurut BGD (Dinas Kesehatan Hindia Belanda), gejala Flu Spanyol layaknya flu biasa. Penderita merasakan pilek berat, batuk kering, bersin-bersin, dan sakit kepala akut di awal. Dalam beberapa hari, otot terasa sakit dan disusul demam tinggi. Gejala umum lainnya, mimisan, muntah-muntah, menggigil, diare, dan herpes. Pada hari keempat atau kelima, virus telah menyebar hingga ke paru-paru. Dalam banyak kasus, gejala itu berkembang menjadi pneumonia. Bila penderita sudah sampai pada tahapan ini, kecil kemungkinan bisa bertahan.

Pada tahun 1919 badai virus itu mulai mereda. Secara bertahap mereka mulai kehidupan yang baru.

"Pada 1919, kematian massal secara bertahap telah berakhir. Mulai kehidupan yang baru yang berbeda. Kenali wajah-wajah ini, mereka masih muda. Banyak ibu, ayah, saudara kandung, kakek nenek, dan teman yang wafat." tambahnya.

Menurit Rob, mereka mungkin melihat orang yamg mereka sayangi telah tiada karena wabah itu.

"Entah bagaimana mereka menemukan kekuatan untuk naik kereta dan kembali ke sekolah. Mereka terlihat lelah, tetapi mereka hidup, bergerak maju, dengan hati-hati, perlahan, tetapi bergerak maju, berbeda." tutup Rob.

Flu Spanyol di Indonesia

Flu Spanyol sampai di Indonesia pertama kali lewat jalur laut, terbawa oleh entah kapal penumpang atau kapal cargo dari Malaysia dan Singapura hingga menyebar ke Sumatera Utara. Saat itu si penderita menginfeksi semua crew kapal dan penumpang kapal Toyen Maru yang baru tiba di Makassar dari dari Probolinggo.

Dalam hitungan minggu, virus menyebar secara masif ke Jawa Barat (Bandung), Jawa Tengah (Purworejo dan Kudus), dan Jawa Timur (Kertosono, Surabaya, dan Jatiroto). Dari Jawa, virus menjangkiti Kalimantan (Banjarmasin dan Pulau Laut), sebelum mencapai Bali, Sulawesi, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Memasuki Oktober 1918, virus telah mencapai pulau-pulau kecil di sekitar Kepulauan Sunda. Sebulan berselang, virus telah mencapai Papua dan Maluku, 10 dari 1000 orang meninggal akibat flu ini.

Sumber : dari sejumlah sumber di instagram, Historia.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar