PO. PMTOH melalangbuana
sebagai salah satu PO bus dengan trayek terjauh yakni, Banda Aceh-Solo
berjarak hampir 3.000 km.
Bus PMTOH | Foto: Andri Art/Beritatrans.com |
TRAVEL : Perusahaan Otomatis (PO) legendaris yang didirikan oleh M. Hasan pada tahun 1957, merupakan singkatan dari Perusahaan Motor Transport Ondernemer Hasan.
Kata 'ondernemer' berasal dari bahasa Belanda yang berarti pengusaha atau tauke. Jadi, dari namanya jelas bahwa perusahaan otobus ini, awalnya milik pengusaha M. Hasan—yang armadanya identik dengan warna hijau toska.
Tak banyak yang tahu, bahwa PMTOH adalah akronim lain dari "Pak Minta Tolong Ongkos Habis", akronim itu karena sering kali masyarakat naik PMTOH tak ada ongkos atau tak cukup ongkos baik yang naik di Aceh maupun luar Aceh.
Dedi Kalee, seorang mahasiswa Aceh yang pernah naik PMTOH tanpa bayar karena tak ada ongkos. Dedi saat berkuliah di Yogyakarta, sewaktu pulang kampung ke Banda Aceh sering ikut dengan menumpang bus PMTOH dari Yogyakarta.
"Paling tidak sudah gratis dapat makan dan silaturrahmi dengan beliau berjalan baik. Karena juga sering kirim paket barang ke Aceh," kenang Dedi yang kenal juga dengan sopir PMTOH, Bang Adek orang Medan.
"Maklum kala itu masih mahasiswa yang berkantong tipis," kata Dedi yang sekarang jadi dosen di ISBI Aceh.
Baginya, bus PMTOH adalah bus perjuangan mahasiswa dan memiliki peran sosial sangat tinggi.
Dalam komitmen bisnis memang tidak diperbolehkan seorang pengusaha menggratiskan penumpangnya dengan alasan apapun.
Namun, pemimpin PMTOH sekarang, Jumadi Hamid mengakui hal tersebut karena ada larangan ayahnya untuk tidak menolak penumpang yang tak ada ongkos.
Ia sempat protes perihal kebijakan ini, tapi ia kemudian mengerti dan sekarang giliran ia diprotes anaknya, sebab meneruskan kebijakan ayahnya itu. "Semoga kelak anak saya juga akan mengerti."
Jumadi tidak menampik, ada kalangan masyarakat menjuluki PMTOH sebagai bus perjuangan. "Mungkin karena peran sosial seperti itu tadi. Tapi itu terserah kepada masyarakat saja," imbuhnya.
Trayek Terjauh Pertama
Meskipun bukan bus pertama di Aceh, tapi PMTOH adalah perusahaan bus pertama yang menembus Pulau Jawa.
Trayek itu melintasi kota-kota besar sepanjang Sumatera, mulai dari Aceh, Medan, Pekanbaru, Palembang, Lampung, Jakarta, Solo, dan Yogyakarta.
Trayek ke Pulau Jawa pertama sekali dibuka pada tahun 1986, butuh waktu satu tahun mengurus izin trayek ke Jawa. Jumadi sendiri yang mengurus izin trayek itu—saat perusahaan dipimpin oleh ayahnya, Abdul Hamid Hasan.
Pilihan buka trayek ke Jakarta sampai Solo dan Yogyakarta, kata Jumadi, bukan tanpa alasan. Waktu itu ia menangkap ada peluang bisnis, melayani kebutuhan transportasi untuk para transmigran dari Aceh.
"Transmigran dari Aceh Tengah, Aceh Barat, dan beberapa wilayah transmigrasi lainnya di Aceh yang pulang ke Jawa, kampung halaman mereka," ujar pria lulusan Sarjana Ekonomi UKI Jakarta itu.
Para transmigran yang sudah sukses di Aceh, membutuhkan sarana angkutan untuk pulang menjenguk kampung halaman.
"Potensi bisnisnya besar, lalu ayah saya berinisiatif membuka trayek ke Jawa," cerita Jumadi Hamid.
Para trasnmigran yang pulang kampung bersama keluarga, juga membawa serta hasil perkebunan mereka seperti kopi dan tanaman lainnya.
"Seperti dari Aceh Tengah, kan penghasil kopi. Tapi waktu itu tidak dibawa dalam jumlah besar, hanya sebagai buah tangan saja," kata Jumadi.
Pada era 80-an sampai 2000-an, PMTOH ikut menikmati masa jayanya. PMTOH juga punya kantor sepanjang Sumatra bahkan pernah menembus Bali.
Tapi zaman berubah. Transportasi darat ditinggalkan pelanggan, dan beralih ke transportasi udara—maskapai penerbangan menyediakan tiket murah.
"Era tiket pesawat murah itulah yang merontokkan kami. Bayangkan ke Jakarta naik pesawat 500 ribu perak (Rupiah), sama dengan ongkos bus," kata Jumadi, prihatin.
Satu per satu kantor PMTOH tutup, saat ini hanya ada di Aceh, Medan, Jakarta, dan Solo.
Bisnis PMTOH kemudian tidak lagi sepenuhya bertumpu mengangkut penumpang, melainkan juga dikembangkan jadi angkutan barang.
"Kami ikut main di usaha kargo, sebab mengandalkan penumpang sudah tidak kuat," ujar Jumadi.
Walaupun begitu, Jumadi mengaku tetap mempertahankan beberapa trayek yang sudah ada sejak dulu, kendati secara hitung-hitungan bisnis terbilang tak cukup profit. Contohnya adalah trayek Aceh-Solo yang masih dijaga karena alasan emosional.
"Trayek Aceh-Solo itu, kan, punya nilai sejarah karena pernah jadi saksi menemani para transmigran yang pulang kampung halaman," tandasnya.
Sumber: Vice Indonesia | Serambi News | Tribunews | Berita Trans