Breaking

Sabtu, 02 Januari 2021

Lembah Baliem : Islam, Festival dan Bakar Batu

Tradisi Bakar Batu di Lembah Baliem, Papua mengalami pergeseran, setelah islam diperkenalkan di daerah eksotis itu.


Bakar Batu | Foto: Kompas.com

TRAVEL : Pada tahun 1960-an transmigran muslim Jawa datang ke Lembah Baliem di Pegunungan Jaya Wijaya, memperkenalkan Islam kepada warga setempat—mereka juga mengenal Islam lewat interaksi dengan pendatang dari Bugis, menurut pejabat pariwisata setempat.

Seorang tokoh seperti, Merasugun, Firdaus, dan Muhammad Ali Asso disebut sebagai generasi pertama pemeluk Islam di Lembah Baliem pada tahun 1970-an.

"Mereka berperan dalam menyebarluaskan ajaran Islam di wilayah tersebut," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Jayawijaya, Alpius Wetipo.

Kini sebagian Suku Dani yang tinggal di Lembah Baliem memeluk Agama Islam—termasuk diantaranya yang tinggal di Kampung Tulima dan Kampung Walesi.

Salah satu tradisi yang masih bertahan dilakukan muslim Lembah Baliem dalam menyambut bulan suci Ramadhan dengan Bakar Batu.


Tradisi ini masih ada secara turun-temurun sebagai simbol kerukunan antar-umat beragama di Lembah Baliem.

"Tradisi Bakar Batu menyambut Ramadhan di Lembah Baliem merupakan contoh toleransi antar-umat beragama yang perlu dilestarikan," kata Wetipo.

Sebelum datangnya pandemi Covid-19, warga muslim biasanya menggelar Bakar Batu bersama warga Kristen dan Katolik di halaman Masjid Al Aqsha di Kampung Walesi.


Sayangnya tahun ini tradisi tersebut terpaksa digelar di Honai (rumah adat) masing-masing.

"Tradisi Bakar Batu ini juga sekaligus sebagai bentuk ucapan syukur bulan Ramadhan telah tiba, sebagai bentuk silaturahmi dan saling meminta maaf dengan seluruh kerabat, baik itu kerabat Muslim maupun kerabat Kristen," kata Tahuluk Asso, pemuka agama Islam di Kampung Walesi, seperti yang dikutip dari Antara, Minggu (26/4).

Warga muslim yang tinggal di Lembah Baliem menyesuaikan tradisi dengan ajaran Islam dalam menggelar Bakar Batu.

Babi yang biasanya digunakan dalam tradisi diganti dengan ayam yang sudah disembelih sesuai dengan ajaran agama Islam.

Dalam acara itu, para lelaki bertugas menyusun batu diatas tumpukan kayu kering serta dedaunan dan rumput kering yang kemudian akan dibakar.

Tidak jauh dari tempat batu dibakar, sudah disiapkan lubang di tanah. Batu yang sudah dibakar selanjutnya ditata di lubang itu.

Bahan makanan seperti sayuran, keladi, ubi jalar, singkong, pisang, dan ayam lantas ditaruh diatasnya. Setelah itu, batu-batu panas akan diletakkan di atas tumpukan makanan.

Setelah sekitar tiga jam, ayam, ubi jalar, singkong, serta sayuran yang diletakkan diantara batu panas itu bisa diangkat dan disantap bersama.

"Suku Dani di Kampung Tulima dan Kampung Walesi akan tetap menjaga dan memelihara tradisi bakar batu warisan nenek moyang, walaupun begitu tetap menjaga akidah Islam," kata Abu Hanifah Asso, anak Kepala Suku Tahuluk Asso.

Simbol Persatuan dan Kesatuan

Selain tradisi Bakar Batu, ditempat ini juga terkenal dengan Festival Lembah Baliem. Festival tahunan yang digelar setiap bulan Agustus di sebuah tanah lapang di kaki perbukitan Distrik Walesi, Wamena, Papua.

Acara ini memiliki makna dan simbol kesatuan dan persatuan sebagai simulasi perang suku yang berakhir dengan perayaan tradisi dibalut dengan festival dalam kalender acara tahunan pariwisata.

Festival ini diselenggarakan bertepatan dengan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, yang melibatkan perwakilan 40 distrik dari seluruh Wamena.


Tak hanya atraksi perang adat, kelompok peserta festival juga menampilkan tarian, nyanyian, dan musik tradisional.

Para perwakilan distrik itu berasal dari suku Dani, Lani, dan Yali. Mereka, baik laki-laki dan perempuan, bertelanjang dada.

Para pria mengenakan koteka atau penutup alat kelamin tradisional. Wajah mereka berhias pernak-pernik tradisional seperti taring babi (wamaik) dan kalung yang disebut mikak.

Adapun, kelompok perempuan dari tiga suku itu mengenakan rok tradisional serta berkalung noken.

Awalnya terdapat sejumlah skenario perang, diantaranya perselisihan yang bermula dari penculikan remaja perempuan dan pembunuhan. 


Perang antar kedua suku tak terelakan lagi, kaum laki-laki saling bertarung dengan panah dan tombak.

Beberapa skenario perang berakhir dengan kisah kemenangan dan kekalahan. Namun ada pula yang berujung perdamaian karena para pihak menganggap perang tak dapat menyelesaikan persoalan.

Melansir BBC, seorang turis asal Bristol-Inggris, Susan Boxall yang pertama kali menyaksikan festival ini sempat kelelahan karena perjalanan jauh dari Inggris sampai ke Lembah Baliem—yang memang aksesnya sulit untuk ditempuh.

 

Namun, terbayar dengan pemandangan asri Lembah Baliem dan tradisinya yang masih terjaga—dan kostumnya juga unik-unik.

 "Kostum mereka sangat indah. Tarian dan atraksinya beragam, setiap suku menampilkan hal yang berbeda."

 

"Tradisi ini tidak bisa kami lihat di tempat lain di seluruh dunia."

(Dari berbagai sumber yang tertera)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar