Bagi orang Toraja menjalankan ritual kematian dipercaya menghasilkan berkah dan panen yang melimpah.
Ritual Ma'nene, dimana jenazah leluhur keluarga Toraja akan digantikan kainnya, Pangala-Toraja | Foto: Ribkha Tandepadang/Wikimedia Commons |
Saat ini, orang Toraja sebagian besar beragama Kristen, meskipun begitu praktik-praktik kebudayaan, kearifan lokal dan ritual kematian mereka masih tetap ada—dipercaya melakukan ritual akan menghasilkan panen yang lebih baik di tahun berikutnya.
"Ma'nene, misalnya, yang dilakukan setiap satu, dua atau tiga tahun—atau lebih, tergantung kesepakatan keluarga. Dimaksudkan sebagai cara untuk menghormati kerabat yang telah meninggal," tulis Putu Sayoga, seorang kontributor asal Bali untuk The New York Times yang dipublikasikan pada (14/12).
Bagi suku Toraja, kematian adalah proses bertahap dan proses sosial—jenazah orang yang baru saja meninggal disimpan di rumah dan diawetkan oleh keluarganya, terkadang selama bertahun-tahun, sampai keluarga tersebut memiliki cukup uang untuk 'membayar pemakaman'.
"Arwah orang mati diyakini masih ada di dunia sebelum upacara kematian digelar. Setelah itu, jiwa akan memulai perjalanannya ke Puya (negeri arwah)," tulisnya.
Semakin lama orang yang meninggal tinggal di rumah, semakin banyak keluarga yang dapat menabung untuk pemakaman yang semakin mahal biayanya. Upacara pemakaman yang rumit dapat berlangsung selama 12 hari dan mencakup pengorbanan puluhan kerbau dan ratusan babi.
"Upacara semacam itu bisa menelan biaya hingga ratusan ribu US dolar," tulis kontributor asal Pulau Dewata itu.
Dalam proses ritual, banyak keluarga menerima kehadiran para pelancong yang ingin ikut serta dalam ritual tersebut. Para keluarga tak segan menyambut baik dan memperbolehkan membagikan foto-foto nya.
Dalam beberapa tahun terakhir, ritual tersebut mendapat perhatian internasional, semakin mudah bagi orang luar untuk mengetahui kapan dan dimana ritual akan diadakan—jadwal ritual bahkan diunggah di situs web pariwisata pemerintah daerah.
Salah satu prosesi adat dan budaya di Tana Toraja | Foto: Sergei/Flickr |
Jenazah anggota keluarga mereka yang telah lama meninggal (setelah proses pemakaman yang rumit diadakan), kemudian digali, dibersihkan, dan ditinggalkan—dibawah sinar matahari hingga kering sebelum mengenakan pakaian baru.
Menurut legenda setempat, ritual ma'nene berakar pada kisah seorang pemburu bernama Pong Rumasek, yang ratusan tahun lalu menemukan mayat terbengkalai di hutan Toraja.
Tergerak oleh kemalangan orang asing itu, Rumasek merawat mayat itu dan mendandaninya dengan pakaiannya. Sejak saat itu, dia dikatakan diberkahi dengan keberuntungan dan panen yang melimpah.
Namun, secara lokal, cerita asal itu sering dianggap apokrif (sesuatu yang salah).
"Tidak ada yang tahu kapan, di mana dan bagaimana tepatnya tradisi itu pertama kali ditemukan," kata Endy Allorante, fotografer dari Toraja yang mendokumentasikan upacara kematian Toraja sejak 2006.
Setelah kuburan Elis Sulu, atau patane, bersih, kerabatnya mengeluarkan jasadnya dari peti mati dan menggantinya dengan pakaian baru—tetapi tidak sebelum mengambil gambar dengan mayat tersebut.
Setelah menyelesaikan upacara, keluarga kembali ke rumah Odiya Sulu untuk berbagi makanan khas Toraja yang telah disiapkan sebelumnya pada pagi hari—makan malam menandai akhir dari ritual.
"Saya sangat merindukan ibu saya," kata Bu Sulu.
"Melihat tubuhnya menyembuhkan hatiku, tapi setelah ini, aku harus menunggu dua tahun untuk melihatnya lagi, di Ma'nene berikutnya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar