Breaking

Kamis, 20 Agustus 2020

Memahami Alam dengan Puisi

Pada cekungan karang, Kerapu sedang menanti, persis di batas tampak dan tidak tampak

Arus tubir, melompatlah ikan, yang dikirim arus utara dalam pusaran semalam

Sepagi ini telah masuk ke dalam bubu

Kau mungkin tidak percaya kakekku adalah karang yang menghimpun bayi Kerapu

Sunset di Pulau Ternate dan Tidore | Thiobedda (Wikimedia Commons)
Puisi tersebut bagian dari buku puisi berjudul "Karang Menghimpun Bayi Kerapu" yang berisi 100 puisi karya Ibrahim Gibra - nama pena dari Prof Gufran Ali Ibrahim.

Puisi itu sejatinya, cara memahami pengarang tentang keindahan alam Maluku Utara di masa lalu, saat ini dan apa yang diimajinasikan nanti. Imajinasi itu bisa juga tentang kota yang punya tol, resto, kereta Argo Parahyangan, tiang tiang atau tentang cinta yang memeluk rindu.

Gaya menulis puisi tersebut menurut pandangan Sutarjo Adisusilo, disebut sebagai filsafat sejarah spekulatif yang menuliskan semua tentang masa lalu, sejarah, yang pernah terjadi, direkam dalam memori lalu dihubungkan dengan hidup saat ini. Ujungnya adalah tentang kemungkinan yang akan terjadi nanti.

Masa lalu diwujudkan lewat magori. Ini sumber hidup yang berasal dari Ibu dan keluarga bahkan tentang laut, karang, ikan dan pasir. Inilah magori kita anak-anak di Maluku Utara yang lahir dan besar bersama laut atau juga bersama hutan yang isinya pohon sagu, kenari, kelapa, cengkih dan pala.

Semuanya serba pertama. Ada realisme bertutur di situ. Ibrahim Gibra menulis romantisme yang kini mulai hilang tergusur modernitas dalam bait-bait puisi yang tajam. Sebuah historical responsibility yang lepas. Di mana kita hari ini? Di kota yang bising penuh tipu muslihat. Kita jadi lupa dengan magori. Lupa bagaimana caranya membuat bubu, lalu merayu ikan dengan daun Tagalolo

Buku berjudul "Karang Menghimpun Bayi Kerapu" ini dibedah langsung Hasan Aspahani, pemenang Anugerah Hari Puisi Indonesia 2016. Menurutnya, Imaji laut yang ada dalam karya ini berbeda dengan imaji laut yang ada pada karya-karya lain. Laut dalam karya Ibrahim Gibra ini sangat personal, kesannnya, pengalamannya.

Peluncuran dan bedah buku ini sendiri dibuat oleh Kantor Bahasa Maluku Utara bersama Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Khairun (Unkhair) Ternate. Hasan, yang juga penerima Anugerah Sastra Badan Bahasa 2018 itu mengatakan puisi-puisi yang berada di dalam buku sebagian besar bertema laut dan masa lalu seorang Ibrahim Gibra.

Ibrahim Gibra, bahkan disebut Hasan sebagai penyair yang menyamar menjadi profesor. Ia sangat metaforis menulis masa kecilnya. "Puisi-puisi ini membuat saya berhak menikmatinya dengan sepersonal mungkin. Dan setiap orang saat menemukan puisi-puisi ini mereka juga berhak menikmatinya," ucap Bang Acang, sapaan akrab yang disematkan Ibrahim kepadanya.

Sebagai seorang penulis puisi beliau juga mempersembahkan puisi nya untuk Ibrahim Gibra.

Tuhan, Manusia dan Air Guraka

untuk Ibrahim Gibra


TUHAN tanam pala, lalu manusia mencetak peta

Tuhan buat pulau, lalu manusia bangun benteng

Tuhan putar waktu, lalu manusia menari Soya-soya

Tuhan gali laut, lalu manusia tebang bambu

Tuhan lepas ikan, lalu manusia nyalakan api

Tuhan pasang gunung api, lalu manusia jadi petani

Tuhan beri kemungkinan, lalu manusia angkat sultan

Tuhan turunkan kitab, lalu manusia bikin kapal


Lalu, apa Tuhan ingat kenapa ia kirim kenari ke mari?

Yang dengannya orang Ternate bikin kue-kue, rebus

Jahe, sama pala, tambah gula aren, pakai pandan,

Mengepul di pangkal malam, ditebari serpihan bulan

Dan aku meminumnya, bikin badanku mempertinggi suhu,

Sehangat mata seorang lelaki, yang bersamamu menyelam

Ke dasar karang, ke teras yang menghimpun bayi kerapu.

Tuhan bikin manusia, lalu dia kirim aku datang ke mari

Ke pulau-pulau dengan angin menarik kenari menari


(Dari Berbagai Sumber)