Breaking

Sabtu, 29 Agustus 2020

Mengenang Sepur 'Kareta Leutik' di Karawang

Masa kecil anak-anak Karawang tumbuh bersama kereta api. Dalam ingatan mereka, kereta api bukan sekadar alat transportasi, tapi juga sebagai arena bermain. Endang Iskandar Rachmansyah (66) dan masyarakat lokal Karawang tempo dulu sering ikut rombongan petani menjual hasil panen ke Rengasdengklok.
Sisa struktur pondasi jembatan trem Karawang-Rengasdengklok | Foto: Semboyan35.com (Heritage KAI)
Rumah Endang, hanya berjarak 400 meter dari stasiun tersebut. Sehabis pulang sekolah, ia bersama kawan-kawannya naik sepur leutik (trem yang relnya hanya 60 sentimeter). Beranjak remaja, setelah lulus sekolah dasar, ia memakai kereta untuk penghidupan.

Endang ingat, ketika berusia 15 tahun pada 1966, setiap Ahad, ia naik sepur kecil ke Rengasdengklok untuk berjualan kerupuk. Penumpang lain adalah para petani yang membawa palawija, beras, atau hewan ternak yang diikat ke tiang hingga atap.

"Kereta jadi berisik sekali," ujarnya melansir Tempo Media.

Perjalanan dengan kereta dari Karawang ke Rengasdengklok sejauh 21 kilometer itu tertempuh selama sekitar 1 jam. Kereta TC 10 berbobot 12,7 ton itu hanya melaju maksimal 25 kilometer per jam. Kereta ini juga rel selebar 600 milimeter, dibuat Staatsspoorwegen (SS)-perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda-pada 1919.

Disebut kereta leutik-selain relnya yang 600 milimeter atau seperempat kereta rel listrik Jabodetabek-lantaran gerbongnya hanya selebar 2 meter. Lokomotif uap berbahan bakar kayu itu hanya menyeret satu gerbong yang berisi bangku jati. Menurut Endang, kayu itu dipasang berpunggungan sehingga pandangan penumpang mengarah ke luar gerbong.

Pada masanya, kereta leutik menjadi transportasi andalan masyarakat Karawang dan Rengasdengklok. Pemerintah Hindia Belanda membangun rel ini untuk mendekatkan sumber-sumber pangan ke dalam kota. Rengasdengklok salah satu lumbung padi, sedangkan Karawang dilalui jalur kereta Jakarta-Surabaya.

"Zaman saya kecil saja belum ada mobil, hanya ada opelet atau delman yang tak bisa jalan jauh," kata Endang.

Trem Karawang-Rengasdengklok dibangun Belanda untuk menghubungkan rel-rel kecil yang sudah mereka bangun di daerah lain di Jawa Barat. Sebelum membangun di Karawang, mereka membangun kereta kecil di Cilamaya-Cikampek sejauh 28 kilometer pada 1909. Tujuh tahun sebelumnya ada jalur Cikampek-Wadas sejauh 16 kilometer. Jalur ini menjadi komuter setelah Karawang-Wadas terhubung oleh rel sepanjang 15 kilometer pada 1920.
Peta jalur trem Karawang-Rengasdengkok ditandai warna merah, tahun 1922 | Foto: Kitlv.nl (Heritage KAI)
Ada tujuh halte perhentian sepanjang Karawang-Rengasdengklok, yakni Cinango, Lamaran, Tegalsawah, Rawagede, Kobakkarim, Pataruman, dan Babakanjati. Di Karawang nama stasiunnya Karawang Tram, yang letaknya tak jauh dari Stasiun Karawang. Lokasi itu kini sudah menjadi menara pemancar sinyal.

Namun sayang, rute dan rel bersejarah itu kini tinggal kenangan. Rel-relnya dikubur dijadikan jalan aspal pada 1980. Kereta kalah populer ketika jalan mulai penuh oleh mobil, hasil pembangunan gaya Orde Baru yang meninggalkan kereta sebagai alat transportasi komunal.

Ketika menelusuri jalur Karawang-Rengasdengklok, hanya ada petunjuk berupa patok-patok yang menunjukkan tanah milik Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA)-sekarang PT Kereta Api Indonesia (KAI). Lokasi rel hanya bisa diduga dengan mencocokkan keterangan penduduk, seperti Endang Iskandar, dan melihat peta yang dibuat pemerintah Hindia Belanda.

Natawijaya, warga Karawang yang tinggal di pinggir Jalan Syeh Quro, mengatakan toko bahan kebutuhan pokok yang berjarak 200 meter dari rumahnya merupakan bekas stasiun kecil Lamaran.

"Stasiun ini ambruk pada 1976," ujar laki-laki 60 tahun ini.

Seperti Endang, Natawijaya juga tumbuh bersama kereta. Sewaktu remaja, ia naik kereta leutik ke Karawang, sekitar 5 kilometer dari rumahnya di Lamaran, untuk ngabuburit saat bulan puasa. Natawijaya naik kereta tanpa membayar karena tak ada pemeriksaan oleh kondektur. Ia bergabung dengan pedagang dan petani yang membawa aneka sayuran.

Stasiun Karawang Tram juga sudah tak berbekas. Endang mengatakan dulu ada dua stasiun di seberang rumahnya, yaitu Stasiun Karawang untuk kereta jarak jauh dan Stasiun Karawang Tram. Stasiun Karawang Tram kini menjadi toko bahan kebutuhan pokok.

"Kereta kalah oleh mobil dan rumah," ujarnya.

Sumber: Tempo Media